Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2021

BaJul

Dari pada bertanya, aku lebih memilih menjadi orang yang pura-pura tidak peduli. Menjadi egois dan berpikir bahwa semua adalah kekeliruan. Harga diriku tidak sanggup melampauimu, berubah ganas seperti polisi pemburu. Lebih baik aku diam, karena sejauh apa berdialog denganmu, adalah kesalahan. Mungkin semak tidak membenci kaki penginjak, namun manusia tetaplah manusia—dengan egoisme dan akal yang tidak mau dihina. Aku rasa kau paham itu, kau bukan makhluk berakal rendah, pikirmu cukup cakap— untuk mengelabuhi mangsa, untuk sekedar kau icip darahnya. Putri Palupi Purworejo, 26 Oktober 2021

BUNCAH

Aku menikmati semilir angin, yang terasa bagai ejek tanpa ampun. Dikoyak sepi, bahkan aku yang berdiri sendiri— menatap langit mendung, dengan sorak-sorai manusia, tanpa belah kasih. Aku menikmati curam jalan, yang terasa bukan lagi sebuah kebetulan. Merayap-rayap ditengah petang, mencoba meraih puncak, namun tetap ditenggelamkan. Aku menikmati rintik hujan, yang derasnya bukan lagi soal toleransi. Menggigil di tepian gubuk, memeluk ajal yang rahasia, dan aku tetap mencoba baik-baik saja. Aku mencari matahari di balik bukit, berharap sinarnya menyemangatiku untuk bangkit. Sekedar menghidupkan lahan kosong dengan benih yang masih tersisa sedikit. Aku berharap banyak, dengan kesadaran yang gila. Terombang-ambing bagai daun yang tak kuasa diterpa angin, bahkan usia sudah tidak kanak lagi. Aku bercermin pada rawa, rembulan menyelamatkanku dari malam, dan sunyi tetap menderai. Aku budak yang kelaparan. Putri Palupi Purworejo, 26 Oktober 2021

ENIGMA

Seni yang sulit adalah seni memahami laki-laki, terutama kau. Tidak ada yang lebih rumit dari rumus matematika, namun kau bisa menggantikannya. Tidak ada yang lebih panjang dari percakapan perkapitalisan, namun kau mampu membuatnya tak berujung. Aku tidak habis pikir saja, cara pikir apa yang kau tanam dalam benakmu itu. Sehingga menghitung poros bulan dan matahari, pun tidak ada satu cara untuk bisa memahamimu. Meng- andok-kan hidup hanya untuk raib bersama teka-teki? Kau pikir aku sedang ujian semesteran? Aku harus menjaras beberapa pola pikir yang bisa-bisanya mempertahankanmu jadi juara. Putri Palupi Purworejo, 21 Oktober 2021

SKEPTIS

Setara yang kau hilangkan adalah bayanganku, sama denganku di sini yang menumbuhkan rindu yang persis—namun ku- mubadzir -kan begitu saja. Selepas yang kau tulis masih kebercandaan, sejauh itu kau masih sama seperti Januari tahun ini, yang doyan mengoceh untuk mencuri perhatian. Aku menghapusmu sekecil debu dalam kontak pesanku, membiarkan debu itu menumpuk dan membuatku sesak, padahal aku sendiri yang menciptakannya. Entah apa yang aku cari, namun kau masih kuanggap yakin. Entah apa yang kau cari, namun kau seperti tidak menganggapku yakin. Kita seperti dua kubu yang salah, yang masih tetap berdalih dalam sebuah kata melengkapi. Tidakkah kau bosan? Tidakkah kau berterus terang saja? Apa aku harus hilang, hanya sekedar membuatmu menjadi dirimu yang kehilangan? Putri Palupi Purworejo, 20 Oktober 2021

KEPALSUAN

Anak kecil itu melahab habis air liurnya sendiri, menelan malu yang tidak dia rasakan, padahal memukul kepalanya bertubi-tubi. Aku yang pula anak kecil ini, menatap heran lengkungan ketik yang ia toreh. Bertolak dengan pesan disela ucapan kami tempo-tempo lawas. Gila, dia jilat ludahnya sendiri ; ujar notif Twitter yang hinggap di bar miliknya berada. Aku tahu, sebab aku pelaku kalimat itu. Anak kecil tidak boleh galau ; ucapnya yang masih kuingat. Sekarang yang dia pasang, foto kambing-kambing cantik rupanya. Aku, tertawa terbahak-bahak— bagaimana tidak? Bukankah munafik juga telah menyelimuti kepalanya, seisi rongga otaknya? Aku yang juga kecil ini, memilih menjadi diri sendiri, yang banyak tingkah, yang banyak celoteh, namun tidak sedemikian lalai ucap. Putri Palupi~ Purworejo, 19 Oktober 2021

Malam Melankolis

Malam ini, aku merasa salah satu langit runtuh Selain atap yang kupandang kosong Jantungku remuk, berdegup, meredup Aku bercermin mengisak-tangisi diri sendiri, ciut hati Menderu hujan di beranda pesan kami, menyelinapkan rindu yang dibagi dua Kita hanya asing, yang saling berbagi hening dalam lingkup kadar akrab untuk sekedar membahas hal berkonotasi. Topik komedi berubah horor, entah siapa yang memulai lebih dulu. Hingga jam sebelas menamparku habis, ratapi, menekan tombol berhenti—sejenak memberi jeda berpuisi. Kita hanya asing, yang tidak pernah paham konspirasi alam, dunia, dan seisi makhluk di dalamnya. Menjadi raib oleh tingkah laku tanpa gugu, buta, dan bisu Menerka-nerka kisah, nasib, dan mental yang abu-abu Aku sedang dalam tamparan berulang-kali. Kita hanya asing, yang tidak sengaja bertemu dalam forum buatan, membahas semut yang melingkar di pagar, dan tidak ada ujung yang bisa memutus pembicaraan. Kita yang konyol, yang malam, yang melankolis ini. Purworejo, 12 Oktober 202...